Terapi Musik di Indonesia Kurang
Berkembang
Jakarta,
Psikologi Zone – Ujung tombak terapi musik di
Indonesia adalah kerinduan sejak studi awal tentang hubungan antara musik,
psikologi dan kesehatan. Sekarang, setelah ia menjadi profesor psikologi musik
di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 2011, Dr Djohan, masih merasa
sulit untuk membuat mimpinya menjadi kenyataan. “Saya sudah menjadi profesor
pertama dalam bidang psikologi musik di negara ini. Saat saya sedang terlibat
dalam disiplin ilmu yang relatif langka tersebut, saya merasa berjuang sendiri
untuk mewujudkan terapi musik, “kata doktor psikologi alumnus Universitas
Gadjah Mada di Yogyakarta ini, Rabu (23/5).
Bahkan,
Indonesia telah tertinggal jauh di belakang dari negara-negara lain dalam
metode terapi musik. Djohan bertekad untuk memasukkan potensi besar terapi
musik untuk kesehatan masyarakat Indonesia. “Sayangnya, potensi ini tidak
ditekankan dan ditingkatkan untuk mendukung penyembuhan pasien di rumah sakit.
Psikologi musik masih belum dilirik,” kata pria kelahiran Palembang 17 Desember
1960 ini.
Bagi
Djohan, pendekatan interdisipliner harus dikejar untuk memastikan obat lebih
efisien dan efektif untuk pasien. Daripada mengandalkan obat-obatan, terapi
musik dapat membantu mempercepat pemulihan. “Ketika kita tertinggal dalam
menerapkan metode ini, pasien sangat dirugikan,” kata ayah dari tiga anak ini, yang telah mengunjungi
Jepang, Australia, Thailand dan negara lain untuk mempelajari terapi ini. Secara
historis, menurut pria penerima penghargaan Penggunaan Terapi Musik dari
College of Music di Universitas Mahidol Bangkok, Thailand, pada 2009 ini,
terapi musik sudah dikenal pada akhir abad ke-18, meskipun sebelumnya menjadi
media penyembuhan di beberapa tempat seperti Cina, India, Yunani dan Italia.
“Di
Amerika, terapi ini diterapkan untuk mengobati korban Perang Dunia I, terutama
untuk mengatasi trauma yang mempengaruhi para veteran perang, bahkan para
terapis musik sudah berafiliasi dalam sebuah organisasi American Music Therapy
Association (AMTA),” kata Djohan, yang juga anggota dari Australia Musik dan
Asosiasi Psikologi.
Kelangkaan
ahli terapi musik atau praktisi menimbulkan kendala untuk usahanya
mempopulerkan pengobatan ini. Dia memiliki kesulitan menemukan rekan-rekan
untuk diskusi atau penelitian lebih jauh. “Jadi saya harus mencari mitra asing
melalui internet,” ungkapnya. “Psikolog Indonesia memang menyadari terapi ini,
tapi mereka sangat jarang menerapkannya atau mempelajari lebih jauh ke dalam,
mungkin karena mereka merasa kurang kompeten untuk menangani musik, sehingga
membuat mereka sekedar tertarik,” tambahnya yang juga penulis beberapa buku
ini.
Meskipun
demikian, Djohan merasa bersyukur atas beberapa rumah sakit memberikan respon
positif terhadap tawarannya, meskipun penerapannya belum mencapai tahap terapi,
namun masih sebagai uji coba untuk menguji pengaruh dari musik terhadap
lingkungan rumah sakit, seperti ruang tunggu dan bangsal pasien. “Penggunaan
terapi musik dapat menciptakan suasana kenyamanan dan relaksasi, sebelum
diterapkan untuk membantu menyembuhkan pasien,” jelas Djohan, yang juga anggota
Dewan Provinsi Budaya Yogyakarta.
Akhir-akhir
ini, terapi musik juga telah diajarkan sebagai mata pelajaran di beberapa
universitas. Menurut Djohan, penelitian telah menunjukkan bahwa musik dapat
meringankan berbagai keluhan dan gangguan seperti kecemasan, depresi, gangguan
saraf, insomnia dan stroke, dan dapat mengurangi risiko infeksi, detak jantung
dan kontrol tekanan darah. “Terapi musik sangat penting untuk mempercepat
proses penyembuhan dalam kondisi seperti itu, yang dapat dilakukan dengan
beberapa cara seperti menyanyi, bermain musik, membuat gerakan ritmis atau
hanya mendengarkan musik,” kata dosen pascasarjana di Universitas Sanata Dharma
di Yogyakarta dan Universitas Negeri Semarang ini.
Sumber :