Rabu, 26 September 2012

Fungsi Umum Teori Belajar dan Perspektif Teori Belajar 

Berdasarkan Pengalaman Pribadi  

1.  Contoh fungsi umum teori belajar berdasarkan pengalaman pribadi, sebagai berikut :  

  • Sebagai kerangka riset --> Maksud dari fungsi ini terkait dengan syarat bahwa teori harus memuat prinsip yang dapat diuji, teori yang baik akan diterjemahkan kedalam desain riset yang konkret. Misalnya, seperti penelitian kelompok insos saya tahun 2011 lalu di maimun yang bertempat di pinggiran sungai deli. Sebelum kelompok saya terjun langsung kelapangan kami harus sudah membuat kerangka riset apa yang akan kami lakukan, intervensi apa yang akan kami buat dan teori-teori apa yang mendukung hasil riset yang akan kami lakukan. Setelah kami memutuskan riset apa yang akan kami lakukan disana dengan cara berdiskusi, maka kami pun mencari teori-teori apa yang nantinya akan mendukung atau menguatkan hasil riset kami tersebut sehingga teruji kebenarannya.  

  • Memberikan kerangka organisasi untuk item-item informasi --> Misalnya, seperti berdasarkan pengalaman saya pada poin pertama pada saat kami berada dilapangan dan mewawancarai beberapa warga yang berada dipinggiran sungai deli tersebut, hasil dari informasi tersebut kami buat kerangka atau item-item dari informasi permasalahan apa yang sering dihadapi dan masalah apa yang sulit ditangani warga, agar kami dapat menentukan intervensi apa yang akan kami lakukan untuk mengatasi permasalahan warga tersebut. 

  • Mengidentifikasi sifat dari peristiwa yang kompleks --> Berdasarkan pengalaman saya ketika berada dikelompok insos, banyak sekali masalah-masalah yang kompleks yang kami alami seperti menetukan intervensi apa yang harus kami lakukan. Dikarenakan permasalah-permasalahn yang kompleks yang berada dilapangan seperti air sungai yang kotor akibat masyarakat kota medan dan bahkan limbah dari rumah sakit juga dibuang disungai tersebut dan hal itu sangat sulit untuk diatasi sehingga kami harus mampu mengidentifikasi sifat dari peristiwa yang kompleks tersebut, agar riset yang kami lakukan dapat berguna atau bermanfaat bagi warga sekitar. Dan dikarenakan kami tidak mampu mengatasi sampah maka kami pun mengambil alternatif lain yaitu dengan membuat penyaringan air bersih. 

  • Mereorganisasi pengalaman sebelumnya --> Berdasarkan dari pengalaman riset insos kelompok saya, dimana sebelum kami melakukan intervensi atau membuat riset apa yang akan kami lakukan terlebih dahulu kami juga mencari informasi tentang hasil riset yang sebelumnya atau hasil riset senior 2007 yang telah melakukan riset terlebih dahulu ditempat yang sama pula. Dimana kelompok kami mencari informasi pada kelompok yang sebelumnya tentang riset dan intervensi apa yang mereka lakukan, serta kendala- kendala apa saja yang mereka alami dan apa-apa saja yang perlu kami perbaiki dari hasil riset yang sebelumnya, agar kami dapat menyimpulkan dan membuat riset apa yang baik kami lakukan dimaimun. 

  • Bertindak sebagai penjelasan kerja dari peristiwa --> Berdasarkan dari pengalaman saya hal ini dijelaskan dengan penentuan intervensi apa yang akan kami lakukan untuk riset insos kelompok kami. Dalam hal penentuan ini terjadi berbagai masalah-masalah yang kami alami karena banyak perbedaan pendapat dalam penentuan intervensi dan dalam penentuan teori apa dan siapa yang akan kami lakukan, tetapi dari peristiwa tersebut kami bisa bertukar pikiran dan dapat menentukan apa yang akan kami lakukan untuk riset kami agar riset kami bermanfaat buat warga maimun dan bermanfaat juga buat kelompok kami agar memperoleh nilai yang baik dengan hasil riset yang baik pula. 

     

2.  Perspektif psikolgis tentang faktor-faktor utama dalam belajar 

  • Perspektif behavioris --> Perspektif ini memandang perilaku manusia itu merupakan suatu hasil dari proses belajar. Kaitannya dengan pengalaman riset kelompok saya ini yaitu dimana seluruh anggota kelompok melakukan proses belajar dimana masing-masing anggota kelompok masih bingung apa yang akan dilakukan, teori apa yang akan digunakan, semua itu dilakukan kelompok dengan adanya proses belajar dengan mencari-cari informasi intervensi apa dan teori apa yang akan digunakan oleh kelompok. 

  • Perspektif kognitif --> Perspektif ini merupakan teori belajar yang melibatkan proses penerimaan informasi, ide, usulan, motivasi, mengingat, recall, dan problem solving. Kaitannya dengan pengalaman riset kelompok saya dimana dalam perspektif ini terdapat proses belajar, proses pemberian informasi dan proses penerimaan informasi. Dimana dalam riset ini kami menginformasikan tentang bahaya – bahaya apa saja yang akan mereka alami apabila menggunakan air sungai yang kotor untuk kebutuhan sehari-hari seperti mencuci pakaian maupun sayuran dan menggunaknnya untuk mandi. 

  • Perspektif interaksionis --> Perspektif ini mengatakan bahwa proses belajar itu dipengaruhi oleh model, faktor lingkungan dan personal terhadap perilaku. Kaitannya dengan pengalaman saya yaitu dimana didalamnya terdapat proses belajar didalam kelompok kami yaitu dengan melihat kelompok-kelompok insos senior tahun 2007 yang penelitiannya bagus dan berhasil mendapatkan nilai yang baik membuat kelompok saya juga terpacu agar penelitian kami diterima dan mendapatkan hasil yang memuaskan dari kerja keras kami, dan kelompok yang buruk juga menjadi motivasi kami agar penelitian kami tidak menjadi penelitian yang buruk seperti penelitian senior sebelumnya. 

  • Teori perkembangan interaksionis --> Teori ini merupakan teori yang menekankan tentang symbol-simbol budaya yang mempengaruhi proses belajar individu. Hal ini berkaitan dengan proses intervensi yang akan kami lakukan di maimun. Dimana warga-warga yang berada dipinggiran sungai deli itu memiliki budaya yang berbeda-beda dimana warga tersebut merupakan warga pendatang yang datang kekota medan untuk mengadu nasib atau mencari nafkah. Dalam proses intervensi tersebut terdapat proses belajar antara kelompok dengan warga untuk berkomunikasi dengan baik agar warga mau menerima kelompok kami yang datang dan mau membantu kami untuk mengikuti riset yang kami lakukan selama 1 semester di tempat mereka.

Lesbianisme, Gaya Hidup atau Abnormalitas Seksual ?

       Di Indonesia, Lesbianisme rupanya berkembang cukup pesat dalam wilayah sosial kemasyarakatan. Kalau dulu, perempuan lesbi sebisa mungkin menyembunyikan jati dirinya, tapi saat ini mereka berhimpun dalam wadah atau organisasi yang semua orang bisa mengetahuinya. Lihat saja, grup-grup lesbian yang bertebaran di Facebook maupun situs-situs dewasa lainnya. Lantas pertanyaannya, apakah Lesbianisme saat ini menjadi gaya hidup? Bukankah lesbian merupakan abnormalitas atau penyimpangan seksual? 
Hasil Penelitian
        Psikolog John Buss memperkirakan bahwa 2% dari wanita adalah seorang lesbian. Mungkin tidak lagi! Survei terbaru dari gadis remaja dan wanita muda menemukan bahwa sekitar hampir 15% perempuan muda saat ini mengidentifikasi dirinya sebagai lesbian, dibandingkan dengan sekitar 5% laki-laki muda yang mengidentifikasi sebagai gay.
      Para peneliti di Cornell University, mengumpulkan sampel yang representatif dari wanita muda yang mencakup lebih dari 20.000 orang di 80 komunitas di seluruh Amerika Serikat, menemukan bahwa 85,1% wanita muda diidentifikasi sebagai heteroseksual; 0,5% melaporkan tidak ada identitas seksual; dan 14,4% sisanya adalah lesbian atau biseksual. Di antara pria muda, 94,0% mengidentifikasi diri mereka sebagai heteroseksual, 0,4% pria melaporkan tidak ada identitas seksual; dan 5,6% sisanya diidentifikasi sebagai gay atau biseksual.
       Jangan khawatir penelitian tsb di Amerika. Proporsi di Indonesia bisa jadi lebih sedikit atau malah lebih tinggi, karena tentu budaya (kebiasaan, lingkungan, agama, dll) sangat mempengaruhi penelitian yang melibatkan orientasi seksual. Seperti yang terlihat di Eropa, misalnya, di Norwegia, lebih dari 20% anak perempuan dan wanita muda diidentifikasi sebagai lesbian.
Lesbian dan Perubahan Cara Pandang dalam Psikologi
       Lesbianisme sendiri berasal dari kata Lesbos. Lesbos adalah sebutan bagi sebuah pulau ditengah Lautan Egeis, yang pada zaman kuno dihuni oleh para wanita (dalam Kartono, 1985). Homoseksualitas dikalangan wanita disebut dengan cinta yang lesbis atau lesbianisme. Memang, pada usia pubertas, dalam diri individu muncul predisposisi (pembawaan, kecenderungan) biseksuil, yaitu mencintai seorang teman puteri, sekaligus mencintai teman seorang pria.
       Psikologi adalah salah satu disiplin pertama yang melakukan studi homoseksualitas sebagai sebuah fenomena. Sebelum dan selama sebagian besar abad ke-20, psikologi melihat homoseksualitas sebagai model perilaku yang patologis. Sebelum tahun 1970an, banyak penelitian psikologi menyimpulkan bahwa homoseksual merupakan perilaku yang abnormal. Sebagian besar subyek penelitian adalah laki-laki gay dan lesbian; subyek penelitian mayoritas diambil dari penjara, rumah sakit jiwa dan konsultasi psikolog. Penelitian ini banyak dikritik karena sampel yang diambil adalah subyek yang 'tertekan', orang-orang miskin, gaya hidup minoritas, dsb, bukan mewakili sebuah populasi.
        Diawali dengan protes para aktivis gay yang dibantu oleh banyak psikiatris menyelenggarakan konvensi di San Francisco yang membahas hak-hak kaum gay. Pada pertengahan 1970an, telah terjadi pergeseran penting dalam psikologi tentang homoseksual, yang beranggapan bahwa homoseksual dan lesbian berada dalam kisaran 'normal' perilaku manusia. Puncaknya adalah homoseksual dibuang dari American Psychiatric Association's (APA) Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), atau yang lebih dikenal dengan DSM-III.
      Data dari peneliti seperti Alfred Kinsey dan Evelyn Hooker, dan setelah pemungutan suara oleh para komite APA pada tahun 1973, yang dikonfirmasi oleh keanggotaan APA tahun 1974, menyimpulkan bahwa homoseksual bukan lagi termasuk gangguan mental, melainkan "gangguan orientasi seksual (sexual orientation disturbance)."
    Pada tahun 1975, American Psychological Association (APA) merilis kebijakan resmi bahwa homoseksualitas bukan merupakan gangguan mental (mental disorders), dan mendesak profesional kesehatan mental untuk mengambil langkah untuk menghilangkan stigma 'penyakit jiwa' yang telah lama dikaitkan dengan seorang gay dan lesbian.

Lesbian dan Seksualitas
      Banyak yang mengira dari fisik jika perempuan tomboy kebanyakan adalah seorang lesbian, tentu saja tidak. Lebih dari 16% perempuan heteroseksual juga melaporkan tomboys menjadi sebagai anak perempuan. Hanya 3-4% dari laki-laki heteroseksual melaporkan 'menjadi' banci ketika muda. Jadi jika anda disebut banci (mengingatnya dan bersedia mengakuinya) adalah prediktor yang lebih kuat menjadi homoseksual daripada yang disebut sebagai gadis tomboy.
      Mendefinisikan baik aktivitas seksual maupun identitas sosial seorang lesbian sampai saat ini memang terus diperdebatkan. Menurut penulis feminis, Naomi McCormick (1994), indikator orientasi seksual seorang lesbian adalah pengalaman seks dengan wanita lain. Namun, McCormick menyatakan menolak seks bebas antar wanita, dimana lebih mengedepankan hubungan emosional, dukungan, sensitivitas, dan kedekatan idealis antar perempuan adalah sebagai bagian terpenting daripada hubungan seksual. Pandangan para lesbian feminis (Anti-Pornography Feminism) ini sebetulnya pernah ditentang sebelumnya oleh lesbian yang lebih berorientasi seksual ('Pro-Sex' Feminism) pada 1980an, yang terkenal dengan "Sex Wars".
       Banyak dari kita yang penasaran tentang orientasi seksual seorang lesbian. Apa yang membuat orang lesbian? Tidak persis diketahui apa yang menyebabkan seseorang menjadi gay dan lesbian, tetapi penelitian menunjukkan bahwa hal ini didasarkan pada faktor biologis individu. Orientasi seksual biasanya terlihat mulai pubertas. Meskipun orientasi seksual mulai berkembang sebelum kelahiran, cenderung berubah selama hidup seseorang. Naum ada pula yang menganggap faktor lingkungan yang lebih dominan.
      Dahulu, untuk mengetahui orang tersebut lesbian atau gay digunakan alat ukur yang disebut Kinsey Scale. Alfred Kinsey (ahli psikologi yang turut memperjuangkan hak-hak gay) mengembangkan Kinsey Scale sebagai cara untuk menggambarkan orientasi seksual seseorang. Kinsey menemukan bahwa banyak orang tidak secara eksklusif gay atau lesbian, tetapi orientasi seksual mereka dapat di antara keduanya. Kategori-kategori Skala Kinsey antara lain :
0    —    exclusively heterosexual
1    —    predominantly heterosexual, infrequently homosexual
2    —    predominantly heterosexual, but more than infrequently homosexual
3    —    equally heterosexual and homosexual (bisexual)
4    —    predominantly homosexual, but more than infrequently heterosexual
5    —    predominantly homosexual, infrequently heterosexual
6    —    exclusively homosexual

      Hal ini, banyak peneliti menganggap Skala Kinsey terlalu sederhana. Mereka berpendapat bahwa orientasi seksual setiap orang mungkin lebih kompleks dari label dasar yang diberikan Kinsey. Setiap orang berbeda dan orientasi seksual setiap orang adalah unik. Orang dapat memilih untuk label orientasi seksual mereka yang mereka inginkan (menjadi gay, lesbi atau biseksual) dan banyak orang memilih tidak untuk label sama sekali (AntiSeks). Seperti kebanyakan orang di budaya barat, yang diajarkan bahwa heteroseksualitas adalah kualitas bawaan dalam semua orang. Ketika seorang wanita menyadari daya tarik seksual dan romantis wanita lain, lantas mengadopsi identitas lesbian, menantang apa yang masyarakat tawarkan dalam stereotip tentang heteroseksual.
  
Sumber :

Tugas


Template by:

Free Blog Templates